A. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya. Pendidkan sebagai usaha sadar dan terencana
menunjukan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang sengaja dan dipikirkan
secara matang, oleh karena itu disetiap level manapun kegiatan pendidikan harus
disadari dan direncanakan baik dalam tataran nasional atau regional/ provensi, kota, kabupaten dan desa.
Dalam pendidikan sendiri
sebenarnya sudah ada proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar
berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif,
berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun
ruhani terutama kurikulum KTSP yang saat ini dilaksanakan di lembaga pendidikan.
Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki
moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia
tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan
bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara
pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan
merata. Hal ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”.
Kebijakan-kebijakan pemerintah tentang
pendidikan akan berpengruh ke ranah lavel yang sangat bawah (daerah terpencil).
Kebijakan pendidikan dianggap perlu karena bisa merubah proses kegiatan belajar
mengajar di suatu lembaga pendidikan[1].
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah tidak lepas dari
kepentingan, baik kepentingan positive atau negative demi berjalannya kegiatan
belajar mengajar.
Proses pendidikan merupakan hasil
kesatuan teori yang telah dikaji dari ilmu pendidikan yang bersifat praksis.
Ilmu pendidikan tidak dapat dipelajari dibangku sekolah, tanpa peserta didik
dan pendidik, tanpa tujuan pendidikan dan kebijakan pendidikan[2].
Positive dan negative ketika kebijakan
pendidikan diturunkan
oleh pemerintah pusat seperti contoh kebijakan tentang “pendidikan Karakter”,
yang diingin dari konsep pendidikan berkarakter adalah bagaimana seorang siswa
bisa mempunyai karakter
agamis, berakhlaku karimah, berbudi pekerti yang luhur, dan berjiwa pancasila seperti yang diinginkan di tujuan Pendidikan Nasiona[3].
Kasus-kasus kriminal lainnya
yang menjadi berita utama media massa menunjukkan bahwa teknik kejahatan yang
dilakukan tergolong sophisticated crimes
yang menuntut adanya suatu keahlian khusus, seperti: pembobolan ATM,
pemanipulasian pajak, lobbying kepada pengambil keputusan (makelar kasus), dan
sebagainya
Kasus-kasus diatas merupakan
wujud dimana pendidikan saat ini dikatakan gagal karena target yang tertulis
pada undang-undang tentang tujuan pendidikan tidak menemukan hasil tetapi malah
sebaliknya moralitas siswa semakin turun seperti contoh diatas.
Oleh karena itu penulis akan fokus
pada “Pendidikan berkarakter” yang mana sejak akhir tahun 2010 pemerintah menggembor-gemborkan
konsep pendidikan tersebut walaupun masih banyak lagi permasalahan-permasalahan
dalam dunia pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
Dalam
bab selanjutnya penulis akan memaparkan pembahas:
1.
Apa Pengertian pendidikan berkarakter?
2.
Konsep
pendidika berkarakter?
3.
Positiv
dan negative pendidikan berkarakter ketika diterapkan di Indonesia?
4.
Bagaimana Praktek dilembaga Pendidikan?
BAB
II
Penmbahasan
A. Pengertian
pendidikan berkarakter.
Pendidikan karakter merupakan gabungan dua kata yakni
pendidikan dan karakter. Pendidikan sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun
2003 Tentang SISDIKNAS, yakni usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan makna karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu
yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.[4]
Dari definisi kedua kata di atas maka pendidikan karakter
adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan
bijak dan mempraktikannya dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif
kepada lingkungannya.[5] Definisi lainya dikemukakan oleh Fakry Gaffar :“Sebuah
proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam
kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang
itu.” Dalam definisi tersebut, ada tiga ide
pemikiran penting, yaitu: 1) proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuh
kembangkan dalam kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam perilaku.
B. Konsep
pendidika berkarakter.
Pada
hakikatnya, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan
konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi
masa depan untuk dapat bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi
tantangan-tantangan jamannya.
Fungsi
dan tujuan Pendidikan Nasional menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3
menyebutkan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Selaras
dengan tujuan pendidikan Nasional, maka pendidikan karakterpun dalam lingkungan
sekolah kurang lebih memiliki tiga tujuan utama, yakni:
1.
Menguatkan
dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu
sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana
nilai-nilai yang dikembangkan;
2.
Mengoreksi
perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang
dikembangkan oleh sekolah;
3.
Membangun
koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung
jawab pendidikan karakter secara bersama.
Tujuan
pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan
nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses
sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah). Penguatan
dan pengembangan memiliki makna bahwa pendidikan dalam lingkungan sekolah bukanlah
sekedar suatu dogmatisasi nilai kepada peserta didik, tetapi sebuah proses yang
membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi bagaimana suatu nilai
menjadi penting untuk diwujudkan dalam perilaku keseharian manusia, termasuk
bagi anak. Penguatan juga mengarahkan pada proses pembiasaan yang disertai oleh
logika dan refleksi terhadap proses dan dampak dari proses pembiasaan yang
dilakukan oleh sekolah baik dalam kelas maupun sekolah. Penguatan pun memiliki makna adanya hubungan antara
penguatan perilaku melalui pembiasaan di sekolah dengan pembiasaan di rumah.
Tujuan
kedua pendidikan karakter adalah mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak
bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini
memiliki makna bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan
berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif. Proses pelurusan yang
dimaknai sebagai pengkoreksian perilaku dipahami sebagai proses yang pedagogis,
bukan suatu pemaksaan atau pengkodisian yang tidak mendidik. Proses pedagogis
dalam pengkoreksian perilaku negatif diarahkan pada pola pikir anak, kemudian
dibarengi dengan keteladanan lingkungan sekolah dan rumah, dan proses
pembiasaan berdasarkan tingkat dan jenjag sekolahnya.
Tujuan
ketiga dalam pendidikan karakter lingkungan sekolah adalah membangun koneksi
yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab
pendidikan karakter secara bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses
pendidikan karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di
keluarga. Jika saja pendidikan karakter di sekolah hanya bertumpu pada
interaksi antara peserta didik dengan guru di kelas dan sekolah, maka
pencapaian berbagai karakter yang diharapkan akan sangat sulit diwujudkan.
Mengapa demikian?karena penguatan perilaku merupakan suatu hal yang menyeluruh
(holistik) bukan suatu cuplikan dari rentangan waktu yang dimiliki oleh anak.
Dalam setiap menit dan detik interaksi anak dengan lingkungannya dapat
dipastikan akan terjadi proses mempengaruhi perilaku anak.
Sementara
itu, Lickona menjelaskan beberapa alasan
perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya
generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral,
(2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi
peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter
menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran
moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai
moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa
hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk
pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh
masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah
mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari
melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter
penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (8) Pendidikan
karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat,
dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.[6]
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat
perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan
yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak
terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya
kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang
dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter
adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan
bertindak atas nilai-nilai etika/ moral[7].
Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang
membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman,
tetangga, masyarakat, dan bangsa.
Pandangan
ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang ada di pendidikan formal, non
formal dan informal harus mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling
peduli dan membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan
dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik
dan tokoh panutan sangat membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.
Sumber
Daya Manusia (SDM) merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang
lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus
berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang
berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran,
keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan
sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.
Secara
lebih rinci, penulis mengutip beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang
berkarakter dan senantiasa melekat dengan kepribadian bangsa. Ciri-ciri
karakter SDM yang unggul meliputi:[8]
(1)
Religious,
yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur,
terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran;
(2)
Moderat,
yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian
yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta
mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan;
(3)
Cerdas,
yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka,
dan berpikiran maju; dan
Mandiri,
yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat,
menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan
yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan
hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
Sumber daya manusi juka mendukung atas suksesnya
pendidikan karekter. Sumber Daya Manusia
(SDM) merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan
maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM
yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang
lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan,
ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang
melekat dalam dirinya.
Secara
lebih rinci, penulis mengutip beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang
berkarakter dan senantiasa melekat dengan kepribadian bangsa. Ciri-ciri
karakter SDM yang unggul meliputi:[9]
(1)
Religious,
yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur,
terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran;
(2)
Moderat,
yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian
yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta
mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan;
(3)
Cerdas,
yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka,
dan berpikiran maju; dan
(4)
Mandiri,
yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat,
menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan
yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan
hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
Tidak hanya
sumber daya manusia saja tapi peran pendidik juga mempengaruhi karena gulah
yang nantinya akan berinteraksi denga siswa.
Pendidik
itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan
untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya
adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis
(2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik,
di antaranya:
1.
Pendidik perlu terlibat dalam
proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun
pendidikan karakter
- Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3.
Pendidik perlu memberikan
pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi
dalam mengambil keputusan
4.
Pendidik perlu melakukan refleksi
atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa
siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
5.
Pendidik perlu menjelaskan atau
mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus-menerus tentang berbagai
nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal
lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil
dan Megawangi, 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran
yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara
eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and
acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa
masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum
yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2009) menambahkan bahwa
pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui
pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya
mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan
penjelasan di atas, pemakalah mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap
jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Baik dalam pendidikan
formal dan non formal, yang harus dilakukan pendidik adalah sebagai berikut:
(1)
Pendidik
harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan
siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran.
(2)
Pendidik
harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap.
(3)
Pendidik
harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode
pembelajaran yang variatif.
(4)
Pendidik
harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan
keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan
bersahabat dengan siswanya.
(5)
Pendidik
harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar
siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan
dan belajar soft skills yang berguna
bagi kehidupan siswa selanjutnya.
(6)
Pendidik
harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing
siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara
dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik, orangtua
atau tokoh masyarakat hendaknya melakukan hal-hal sebagai berikut:
(1)
Menunjukkan
nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya.
(2)
Memiliki
kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang.
(3)
Memberikan
lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak.
(4)
perlu
mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya
dengan beribadah secara rutin.
Berangkat
dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas,
diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki
kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen
pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensi laten, melainkan
situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5)
mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama.[10]
C. Positiv
dan negative pendidikan berkarakter ketika diterapkan di Indonesia.
Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwasanya kebijakan
pendidikan karakter itu muncul karena problem dari penurunan moralitas siwa
yang tidak sejalur dengan fungsi dan tujuan
Pendidikan Nasional di UUSPN
No. 20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3, yaitu : : “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab
Sudah bisa dilihat dari kronologi kebijakan pendidikan
karakter. Yang menjadi pergtanyaan sekarang adalah apakah pendidikan karakter
merupakan jawaban atas masalah yang terjadi sekarang ini.
Dari kebijakan ini pastinya menimbulkan dampak positif
dan negatif terutama ketika diterapkan di lembaga pendidikan. Dapak positif
dari kebijakan ini dilihat dagri tujuan pendidikan karakter adalah :
1.
Menumbuhkan sifat/ karakter yang tertulis di UUSPN
No. 20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3
2.
Karakter siswa akan terarah.
3.
Singkronisasi dari kurikulum KTSP saat ini.
4.
Mengurangi dari karakter siswa yang sekarang ini menjadi salah satu masalah
dalam lingkungan pendidikan.
5.
Dll
Ini mrupakan
sedikit dari dampak positif dari pendidikan karakter yang pastinya masih banyak
lagi dampak positif yang belum disebutkaan oleh penulis.
Dari dampak-dampak yang telah disebutkan diatas pasyinya
ada dampak negatif dari pendidikan karakter karena kebijakan ini merupakan yang
kesekian kalinya, kebijakan negatif dari pendidikan karakter diantaranya :
1.
Sulitnya kontroling terhadap lembaga pendidikan.
2.
Sulitnya kontroling terhadap siswa ketika diluar lingkungan pendidikan.
3.
Kebijakan ini akan dianggap main-main karena banyaknya kebijakan yang belu
terealisasikan.
4.
Sosialisasi terhadap masyarakat Indonesia terutama lembaga pendidikan di
seluruh Indonesia.
5.
Kopetensi seorang pendidik (apakah sudah mampu atau belum) melaksanakan
kebijakan ini.
6.
Dll
Ini merupakan siple dari dampak negatif yang pastinya
masih banyak lagi dampak-dampak yang belum tertulis
D.
Praktek dilembaga Pendidikan
Permasalahan yang terjadi pada saat ini suatu kebijakan
hanya berhenti ditengah jalan belum selesai sudah muncul kebijakan lain lagi,
ditambah lagi susunan kabinet di negara Indonesia selalu berubah setiap
pergantian Presiden. Ketidak fokusan dalam menjalankan alur pendidikan membuat
ketidak jelasan dalam pendidikan dikarnakan setiap pergantian kabinet maka
model pendidikan akan berubah juga.
Pergantian model pendidikan ini yang membuat karakter
generasi muda tidak jelas (tidak berkarakter). Dengan pergantian model
pendidikan yang telah diterapkan itu mempunyai alasan yaitu pengembangan dalam
model pendidikan. Seharusnya dengan adanya pengembangan seorang siswa akan
lebih berkembang maju tetapi sebaliknya lebih berkembang mundur.
Pendidikan merupakan akses public, dimana pendidikan
merupakan kunci jawaban atas pemasalahan-permasalahan yang terjadi pada negara
kita, tetapi sebaliknya pendidikan merupakan proyek besar yang bisa
menghasilkan uang yang lebih banyak. Pendidikan saat ini sudah berbelok arah
dari tujuan dan fungsi pendidikan yang sudah tertulis di
UUSPN No. 20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3.
Konsep pembelajaran pendidikan karakter dilembaga
pendidikan jikalau ingin berhasil maka
harus diasramakan/ mengkombinasikan sistem pembelajaran formal dan pesantren karen
point inti seseorang yang berperan penting dalam pendidikan karakter adalah
Guru, Siswa, Wali siswa dan Tokoh masyarakat. Sebenarnya tujuan sederhana dalam
pendidikan karakter adalah mengawasi siswa baik didalam lingkungan penndidikan
atau diluar lembaga pendidikan.
Kalau proses dilembaga pendidikan itu diasramakan maka
tugas dari Guru, siswa, Wali murid, dan Tokoh masyarakat akan tergantikan oleh
pengurus asrama. Maka sistem pendidikan karakter akan bisa dilaksanakan secara
baik. Yang menjadi pertanyaan dari penulis adalah apakah siswa saat ini mau
diasramakan?.
Sebenarnya yang menjadi kegelisahan penulis tidak hanya
itu saja masih ada lagi:
-
Apakah yang membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan kewarganegaraan,
pendidikan pancasila, dan pendidikan akhlak?
-
Karakter apa yang diinginkan pemerintah dalam pendidikan karakter?
Dari sub bab sebelumnya telah diterangkan bebrapa dampak
negatif dari pendidikan karakter. Untuk menghindari hal tersebut maka penulis
memberikan penawaran konsep pembelajaran pemndidikan karakter. Seperti yang
telah disinggung diatas bahawasanya konsep pembelajaran pendidikan harus dibuat
asrama atau membuat konsep explorasi dari konsep pembelajaran pendidikan formal
dengan pesantren.
Kenapa penulis menawarka konsep seperti itu karena dari
latar belakang penulis juga dari pesantren. Dilihat dari konsep pembelajaran di
pesantren yang secara tidak langsung membuat seorang santri konsep
pembelajaranya menumbuhkan karakter bagi seorang santri. Tidak ada seorang
santri yang melawan ustadz/ guru/ pengasuh pesantrenya karena kalau seorang
santri melawan seorang guru/ ustazd/ pengasuh pondok maka ilmu yang didapat
dari pesantren itu tidak akan bermanfaat ketika nanti lulus dari pesantren
tersebut.
Hanya saja dari konsep pembelajaran dipesantren hanya
terpaku pada keilmuan agama yang bersifat kontekstual saja makanya kebanyakan
seorang santri sangat kolot atau sensitif ketika disinggung masalah keagamaan.
Dikarnakan pada zaman globalisasi ini ilmu agama tidak cukup untuk mengatasi
permasalahan yang terjadi di masayarakat maka harus diexplorasi dengan keilmuan
yang bersifat umum tidak hanya keilmuan agama. Seperti yang telah terjadi
diberbagai pesantren yang sudah memiliki sekolah umum
Explorasi dari dua konsep pembelajaran antara konsep
lembaga formal dengan konsep pembelajaran pesantren tidaklah gampang. Dari dua
konsep tersebut harus saling mengisi antara satu dengan yang yang lain.
Itulah kenapa penulis menawarkan konsep pembelajaran
seperti itu. Tidak hanya itu saja dari konsep tersebut yang diasramakan maka
seorang siswa akan terawasi atau terkontrol oleh pengurus asrama. Harapan dari
konsep tersebut bagaimana seorang generasi penerus tidak hanya memahami
keilmuan agama dia juga memahami keilmuan imu yang nantinya dibuat bekal ketika
dia sudah terjun dan mengembangkan di masyarakat.
BAB III
Kesimpulan
Tujuan dari pendidikan karakter memang sangagt baik
yaitu mengemballikan Undang-undang No. 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“…
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Hanya
saja pendidikan karakter terjebak dalam masalah konsep keilmuan saja untuk
konsep pembelajaran dari pendidikan karakter masih dalam dalam angan-angan dan
sangat sedikit dari lembaga pendidikan yang mengembakan konsep pembelajaran
pendidikan karakter.
Disini
penulis hanya menawarkan konsep pembelajaran pendidikan karakter yang telah
dibahas diatas. Semoga makalah ini berguna.
Daftar Pustaka
H.A.R Tilaar, dan nuggroho, Riant, Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta:
Pustaka pelajar
Prof . Suyanto Ph.D, Urgensi Pendidikan
Karakter, Jakarta : Ditjen Mandikdasmen, 2010.
Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter;
Solusi yang tepat untuk Membangun Bangsa, Bogor:Balai Pustaka, 2004
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can
Teach Respect and Responsibility, 1992, New York: Bantam Books.
David H Elkind dan
Freddy Sweet, How to Do
Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa.
Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2009
Jalal dan Supriadi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi
Daerah, 2001, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Megawangi, Ratna, 2004, Pendidikan
Karakter; Solusi yang tepat untuk Membangun Bangsa, Bogor:Balai Pustaka
[4] Prof
. Suyanto Ph.D, Urgensi Pendidikan Karakter, Jakarta : Ditjen Mandikdasmen,
2010.
[5] Ratna Megawangi,
Pendidikan Karakter; Solusi yang tepat untuk Membangun Bangsa, Bogor:Balai
Pustaka, 2004, hal. 95
[6] Thomas Lickona, Educating
for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, 1992,
New York: Bantam Books.
[7] David H Elkind dan Freddy Sweet,
How to Do Character Education.
Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2005.
[8] Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Revitalisasi Visi dan
Karakter Bangsa. Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2009, hal. 43-44.
[10] Jalal dan
Supriadi. Reformasi Pendidikan dalam
Konteks Otonomi Daerah, 2001, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, hal. 49-50.
Hai aku GK mau Komen tapi ya pengen komen ini aja ,eh lagi jgn lupa sholat
BalasHapus