Senin, 13 Februari 2012

ANALISIS PENDIDIKAN KAREAKTER


A.    Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Pendidkan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang sengaja dan dipikirkan secara matang, oleh karena itu disetiap level manapun kegiatan pendidikan harus disadari dan direncanakan baik dalam tataran nasional atau regional/  provensi, kota, kabupaten dan desa.
Dalam pendidikan sendiri sebenarnya sudah ada proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun ruhani terutama kurikulum KTSP yang saat ini dilaksanakan di lembaga pendidikan. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Hal ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Kebijakan-kebijakan pemerintah tentang pendidikan akan berpengruh ke ranah lavel yang sangat bawah (daerah terpencil). Kebijakan pendidikan dianggap perlu karena bisa merubah proses kegiatan belajar mengajar di suatu lembaga pendidikan[1]. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah tidak lepas dari kepentingan, baik kepentingan positive atau negative demi berjalannya kegiatan belajar mengajar.
Proses pendidikan merupakan hasil kesatuan teori yang telah dikaji dari ilmu pendidikan yang bersifat praksis. Ilmu pendidikan tidak dapat dipelajari dibangku sekolah, tanpa peserta didik dan pendidik, tanpa tujuan pendidikan dan kebijakan pendidikan[2].
Positive dan negative ketika kebijakan pendidikan diturunkan oleh pemerintah pusat seperti contoh kebijakan tentang “pendidikan Karakter”, yang diingin dari konsep pendidikan berkarakter adalah bagaimana seorang siswa bisa mempunyai karakter agamis, berakhlaku karimah, berbudi pekerti yang luhur, dan berjiwa pancasila seperti yang diinginkan di tujuan Pendidikan Nasiona[3].
Kasus-kasus kriminal lainnya yang menjadi berita utama media massa menunjukkan bahwa teknik kejahatan yang dilakukan tergolong sophisticated crimes yang menuntut adanya suatu keahlian khusus, seperti: pembobolan ATM, pemanipulasian pajak, lobbying kepada pengambil keputusan (makelar kasus), dan sebagainya
Kasus-kasus diatas merupakan wujud dimana pendidikan saat ini dikatakan gagal karena target yang tertulis pada undang-undang tentang tujuan pendidikan tidak menemukan hasil tetapi malah sebaliknya moralitas siswa semakin turun seperti contoh diatas.
Oleh karena itu penulis akan fokus pada “Pendidikan berkarakter” yang mana sejak akhir tahun 2010 pemerintah menggembor-gemborkan konsep pendidikan tersebut walaupun masih banyak lagi permasalahan-permasalahan dalam dunia pendidikan.

B.     Rumusan Masalah
Dalam bab selanjutnya penulis akan memaparkan pembahas:
1.      Apa Pengertian pendidikan berkarakter?
2.      Konsep pendidika berkarakter?
3.      Positiv dan negative pendidikan berkarakter ketika diterapkan di Indonesia?
4.      Bagaimana Praktek dilembaga Pendidikan?


BAB II
Penmbahasan

A.    Pengertian pendidikan berkarakter.
Pendidikan karakter merupakan gabungan dua kata yakni pendidikan dan karakter. Pendidikan sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan makna karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.[4]
Dari definisi kedua kata di atas maka pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan bijak dan mempraktikannya  dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.[5] Definisi lainya dikemukakan oleh Fakry Gaffar :“Sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.” Dalam definisi tersebut, ada tiga ide pemikiran penting, yaitu: 1) proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuh kembangkan dalam kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam perilaku.



B.     Konsep pendidika berkarakter.
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan konseptual filosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk dapat bertahan hidup (survive) dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan jamannya.
Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3 menyebutkan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Selaras dengan tujuan pendidikan Nasional, maka pendidikan karakterpun dalam lingkungan sekolah kurang lebih memiliki tiga tujuan utama, yakni:
1.      Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan;
2.      Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah;
3.      Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. 
Tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah). Penguatan dan pengembangan memiliki makna bahwa pendidikan dalam lingkungan sekolah bukanlah sekedar suatu dogmatisasi nilai kepada peserta didik, tetapi sebuah proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi bagaimana suatu nilai menjadi penting untuk diwujudkan dalam perilaku keseharian manusia, termasuk bagi anak. Penguatan juga mengarahkan pada proses pembiasaan yang disertai oleh logika dan refleksi terhadap proses dan dampak dari proses pembiasaan yang dilakukan oleh sekolah baik dalam kelas maupun sekolah. Penguatan pun  memiliki makna adanya hubungan antara penguatan perilaku melalui pembiasaan di sekolah dengan pembiasaan di rumah.
Tujuan kedua pendidikan karakter adalah mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki makna bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif. Proses pelurusan yang dimaknai sebagai pengkoreksian perilaku dipahami sebagai proses yang pedagogis, bukan suatu pemaksaan atau pengkodisian yang tidak mendidik. Proses pedagogis dalam pengkoreksian perilaku negatif diarahkan pada pola pikir anak, kemudian dibarengi dengan keteladanan lingkungan sekolah dan rumah, dan proses pembiasaan berdasarkan tingkat dan jenjag sekolahnya.
Tujuan ketiga dalam pendidikan karakter lingkungan sekolah adalah membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di keluarga. Jika saja pendidikan karakter di sekolah hanya bertumpu pada interaksi antara peserta didik dengan guru di kelas dan sekolah, maka pencapaian berbagai karakter yang diharapkan akan sangat sulit diwujudkan. Mengapa demikian?karena penguatan perilaku merupakan suatu hal yang menyeluruh (holistik) bukan suatu cuplikan dari rentangan waktu yang dimiliki oleh anak. Dalam setiap menit dan detik interaksi anak dengan lingkungannya dapat dipastikan akan terjadi proses mempengaruhi perilaku anak.
Sementara itu, Lickona  menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (8) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.[6]
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet  menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral[7]. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa.
Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang ada di pendidikan formal, non formal dan informal harus mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling peduli dan membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik dan tokoh panutan sangat membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.
Secara lebih rinci, penulis mengutip beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dengan kepribadian bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang unggul meliputi:[8]
(1)   Religious, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran;
(2)   Moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan;
(3)   Cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan
Mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
Sumber daya manusi juka mendukung atas suksesnya pendidikan karekter. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.
Secara lebih rinci, penulis mengutip beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dengan kepribadian bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang unggul meliputi:[9]
(1)   Religious, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran;
(2)   Moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan;
(3)   Cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan
(4)   Mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
Tidak hanya sumber daya manusia saja tapi peran pendidik juga mempengaruhi karena gulah yang nantinya akan berinteraksi denga siswa.
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
1.      Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter
  1. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3.      Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4.      Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
5.      Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus-menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2009) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemakalah mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Baik dalam pendidikan formal dan non formal, yang harus dilakukan pendidik adalah sebagai berikut:
(1)     Pendidik harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran.
(2)     Pendidik harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap.
(3)     Pendidik harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif.
(4)     Pendidik harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya.
(5)     Pendidik harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya.
(6)     Pendidik harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik, orangtua atau tokoh masyarakat hendaknya melakukan hal-hal sebagai  berikut: 
(1)   Menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya.
(2)   Memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang.
(3)   Memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak.
(4)   perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama.[10]

C.    Positiv dan negative pendidikan berkarakter ketika diterapkan di Indonesia.
Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwasanya kebijakan pendidikan karakter itu muncul karena problem dari penurunan moralitas siwa yang tidak sejalur dengan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional di UUSPN No. 20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3, yaitu :  : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Sudah bisa dilihat dari kronologi kebijakan pendidikan karakter. Yang menjadi pergtanyaan sekarang adalah apakah pendidikan karakter merupakan jawaban atas masalah yang terjadi sekarang ini.
Dari kebijakan ini pastinya menimbulkan dampak positif dan negatif terutama ketika diterapkan di lembaga pendidikan. Dapak positif dari kebijakan ini dilihat dagri tujuan pendidikan karakter adalah :
1.      Menumbuhkan sifat/ karakter yang tertulis di UUSPN No. 20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3
2.      Karakter siswa akan terarah.
3.      Singkronisasi dari kurikulum KTSP saat ini.
4.      Mengurangi dari karakter siswa yang sekarang ini menjadi salah satu masalah dalam lingkungan pendidikan.
5.      Dll
Ini mrupakan sedikit dari dampak positif dari pendidikan karakter yang pastinya masih banyak lagi dampak positif yang belum disebutkaan oleh penulis.
Dari dampak-dampak yang telah disebutkan diatas pasyinya ada dampak negatif dari pendidikan karakter karena kebijakan ini merupakan yang kesekian kalinya, kebijakan negatif dari pendidikan karakter diantaranya :
1.      Sulitnya kontroling terhadap lembaga pendidikan.
2.      Sulitnya kontroling terhadap siswa ketika diluar lingkungan pendidikan.
3.      Kebijakan ini akan dianggap main-main karena banyaknya kebijakan yang belu terealisasikan.
4.      Sosialisasi terhadap masyarakat Indonesia terutama lembaga pendidikan di seluruh Indonesia.
5.      Kopetensi seorang pendidik (apakah sudah mampu atau belum) melaksanakan kebijakan ini.
6.      Dll
Ini merupakan siple dari dampak negatif yang pastinya masih banyak lagi dampak-dampak yang belum tertulis

D.    Praktek dilembaga Pendidikan
Permasalahan yang terjadi pada saat ini suatu kebijakan hanya berhenti ditengah jalan belum selesai sudah muncul kebijakan lain lagi, ditambah lagi susunan kabinet di negara Indonesia selalu berubah setiap pergantian Presiden. Ketidak fokusan dalam menjalankan alur pendidikan membuat ketidak jelasan dalam pendidikan dikarnakan setiap pergantian kabinet maka model pendidikan akan berubah juga.
Pergantian model pendidikan ini yang membuat karakter generasi muda tidak jelas (tidak berkarakter). Dengan pergantian model pendidikan yang telah diterapkan itu mempunyai alasan yaitu pengembangan dalam model pendidikan. Seharusnya dengan adanya pengembangan seorang siswa akan lebih berkembang maju tetapi sebaliknya lebih berkembang mundur.
Pendidikan merupakan akses public, dimana pendidikan merupakan kunci jawaban atas pemasalahan-permasalahan yang terjadi pada negara kita, tetapi sebaliknya pendidikan merupakan proyek besar yang bisa menghasilkan uang yang lebih banyak. Pendidikan saat ini sudah berbelok arah dari tujuan dan fungsi pendidikan yang sudah tertulis di UUSPN No. 20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3.
Konsep pembelajaran pendidikan karakter dilembaga pendidikan jikalau ingin  berhasil maka harus diasramakan/ mengkombinasikan sistem pembelajaran formal dan pesantren karen point inti seseorang yang berperan penting dalam pendidikan karakter adalah Guru, Siswa, Wali siswa dan Tokoh masyarakat. Sebenarnya tujuan sederhana dalam pendidikan karakter adalah mengawasi siswa baik didalam lingkungan penndidikan atau diluar lembaga pendidikan.
Kalau proses dilembaga pendidikan itu diasramakan maka tugas dari Guru, siswa, Wali murid, dan Tokoh masyarakat akan tergantikan oleh pengurus asrama. Maka sistem pendidikan karakter akan bisa dilaksanakan secara baik. Yang menjadi pertanyaan dari penulis adalah apakah siswa saat ini mau diasramakan?.
Sebenarnya yang menjadi kegelisahan penulis tidak hanya itu saja masih ada lagi:
-          Apakah yang membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan pancasila, dan pendidikan akhlak?
-          Karakter apa yang diinginkan pemerintah dalam pendidikan karakter?
Dari sub bab sebelumnya telah diterangkan bebrapa dampak negatif dari pendidikan karakter. Untuk menghindari hal tersebut maka penulis memberikan penawaran konsep pembelajaran pemndidikan karakter. Seperti yang telah disinggung diatas bahawasanya konsep pembelajaran pendidikan harus dibuat asrama atau membuat konsep explorasi dari konsep pembelajaran pendidikan formal dengan pesantren.
Kenapa penulis menawarka konsep seperti itu karena dari latar belakang penulis juga dari pesantren. Dilihat dari konsep pembelajaran di pesantren yang secara tidak langsung membuat seorang santri konsep pembelajaranya menumbuhkan karakter bagi seorang santri. Tidak ada seorang santri yang melawan ustadz/ guru/ pengasuh pesantrenya karena kalau seorang santri melawan seorang guru/ ustazd/ pengasuh pondok maka ilmu yang didapat dari pesantren itu tidak akan bermanfaat ketika nanti lulus dari pesantren tersebut.
Hanya saja dari konsep pembelajaran dipesantren hanya terpaku pada keilmuan agama yang bersifat kontekstual saja makanya kebanyakan seorang santri sangat kolot atau sensitif ketika disinggung masalah keagamaan. Dikarnakan pada zaman globalisasi ini ilmu agama tidak cukup untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di masayarakat maka harus diexplorasi dengan keilmuan yang bersifat umum tidak hanya keilmuan agama. Seperti yang telah terjadi diberbagai pesantren yang sudah memiliki sekolah umum
Explorasi dari dua konsep pembelajaran antara konsep lembaga formal dengan konsep pembelajaran pesantren tidaklah gampang. Dari dua konsep tersebut harus saling mengisi antara satu dengan yang yang lain.
Itulah kenapa penulis menawarkan konsep pembelajaran seperti itu. Tidak hanya itu saja dari konsep tersebut yang diasramakan maka seorang siswa akan terawasi atau terkontrol oleh pengurus asrama. Harapan dari konsep tersebut bagaimana seorang generasi penerus tidak hanya memahami keilmuan agama dia juga memahami keilmuan imu yang nantinya dibuat bekal ketika dia sudah terjun dan mengembangkan di masyarakat.



BAB III
Kesimpulan

Tujuan dari pendidikan karakter memang sangagt baik yaitu mengemballikan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Hanya saja pendidikan karakter terjebak dalam masalah konsep keilmuan saja untuk konsep pembelajaran dari pendidikan karakter masih dalam dalam angan-angan dan sangat sedikit dari lembaga pendidikan yang mengembakan konsep pembelajaran pendidikan karakter.
Disini penulis hanya menawarkan konsep pembelajaran pendidikan karakter yang telah dibahas diatas. Semoga makalah ini berguna.



Daftar Pustaka

H.A.R Tilaar, dan nuggroho, Riant, Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka pelajar
Prof . Suyanto Ph.D, Urgensi Pendidikan Karakter, Jakarta : Ditjen Mandikdasmen, 2010.
Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter; Solusi yang tepat untuk Membangun Bangsa, Bogor:Balai Pustaka, 2004
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, 1992, New York: Bantam Books.
David H Elkind dan Freddy Sweet, How to Do Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa. Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2009
Jalal dan Supriadi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, 2001, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Megawangi, Ratna, 2004, Pendidikan Karakter; Solusi yang tepat untuk Membangun Bangsa, Bogor:Balai Pustaka


[1] H.A.R Tilaar, dan nuggroho, Riant, Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka pelajar, hlm. 16
[2] Ibid, 177
[3] Impres No. 1 tahun 2011
[4] Prof . Suyanto Ph.D, Urgensi Pendidikan Karakter, Jakarta : Ditjen Mandikdasmen, 2010.
[5] Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter; Solusi yang tepat untuk Membangun Bangsa, Bogor:Balai Pustaka, 2004, hal. 95
[6] Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, 1992, New York: Bantam Books.
[7] David H Elkind dan Freddy Sweet, How to Do Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2005.
[8] Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa. Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2009, hal. 43-44.
[9] Ibid , hal. 43-44.
[10] Jalal dan Supriadi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, 2001, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, hal. 49-50.

1 komentar:

  1. Hai aku GK mau Komen tapi ya pengen komen ini aja ,eh lagi jgn lupa sholat

    BalasHapus