Selasa, 21 Februari 2012

PENGEMBANGAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH UMUM

A.     PENDAHULUAN
Diantara peran strategis pendidikan agama Islam (PAI) dalam sistem pendidikan nasional terletak   pada fungsi pentingnya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yang utamanya dalam mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, hal ini menjadi bagian esensial dalam pembangunan Nasioanal Indonesia seutuhnya. Namun yang menjadi masalah adalah seberapa jauh peran strategis PAI ini telah diperankan secara efektif pada dataran operasional pendidkan agama, terutama dalam pembentukan kepribadian bangsa.
Pendidikan agama Islam di Indonesia dewasa ini mendapatka sorotan tajam dari masyarakat. Sebagian pengamat pendididkan berpendapat bahwa krisis ekonomi dan politik terutama krisis moral yang melanda masyarakat Indonesia secara berkepanjangan disebabkan pembinaan mental yang gagal. Hal ini menandakan bahwa PAI telah gagal membina masyarakat, khususnya peserata didik unutuk menjadi insan yang beriman dan bertaqwa. Menurut Nurkhalis Majid bahwa kegagalan Pendidikan Agama Islam disebabakan pembelajaran PAI lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaannya.[1] Proses belajar mengajar diakui selama ini masih mengejar target pencapaian kurikulum yang telah ditentukan, padahal yang diperlukan lebih pada suasana keagamaan.
Diasumsikan bahwa problem PAI berkaitan dengan pemikiran pendidikan Islam yang direfleksikan dalam pengembangan kurikulum yang ada sekarang ini lebih mengarah beberapa aspek, yakni: pertama pengembangan kurikulum lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politis dari pada pemikiran filosofos-pedagogis. Kedua pengembangan kurikulum PAI masih bersifat parsial. Ketiga kurikulum PAI lebih berorientasi pada pencapaian target materi (materi oriented) dari pada kemampuan dasar dalam melakukan perbuatan dan pemecahan problem keagamaan siswa. Keempat pembelajaran PAI lebih cenderung pada pengembangan asapek kognitif, sehingga tidak dapat mengembangkan kepribadian siswa secara integratif, bahkan PAI lebih cenderung berfungsi sebagai penyekolahan (schooling), sedangkan sebagai fungsi pendidikan (education) nilai dan ajaran islam masih kurang efektif.[2]
Berangkat dari silsilah, perl adanya pemikiran pendidikan Islam yang direfleksikan dalam kurikulum PAI secara serius. Perlunya kajian-kajian tersebut akan bermanfaat bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui konstruks dan pemetaan pemikiran (filsafat) pendidikan yang memahami kecenderungan, pola-pola, kerangka teoritis dan substansi pemikiran serta sikap dalam merespon persoalan pendidikan Islam, sosial, politik, moral di Indonesia. Kemudian ditelaah secara kritis dan dicarikan jalan solusi, sehingga pendidikan Islam yang ada disesuikan dan dikembangkan dalam konteks keindonesiaan di masa depan. Maka makalah ini berusaha untuk memotret kurikulum PAI dalam konteks pendidikan di sekolah umum dan pengembangannya.
B.      PEMBAHASAN   
1.      Reposisi Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Pendidikan Nasional
a.      Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI
Dasar pelaksanaan pendidikan Agama Islam berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari:
1)      Dasar pancasila yaitu dasar falsafah Negeri RI, pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
2)      Dasar struktural atau konstitusional, yaitu UUD 1945 dalam bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi bahwa :  a) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
3)      UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional :
Pasal 37
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan atau kejujuran, dan muatan lokal.

4)      Peraturan pemerintah Nomor 55 tahun 2007 Tentang pendidikan Agama dan Pendidikan  Keagamaan.[3]
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan pemerintah ini, yang dimaksud dengan Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Psal 3
(1)     Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menjalankan atau menyelenggarakan pendidikan agama.
(2)     Pengelolaan pendidikan agama dilaksankan oleh menteri agama.
Pasal 4
(1)     Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan kesehatan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah agama.
(2)     Setiap peserta didik pada satuan pendidikan disemua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
(3)     Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama.
b. Peran PAI dalam Pendidikan Nasional
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[4]
Dalam perspektif pendidikan Islam, potensi diri manusia diistilahkan dengan Fitrah manusia. Fitrah disini dipahami sebagai potensi yang sudah ada, dan perlu digali dan dikembangkan.
Menurut Dr. Muhammad Ibrahim SA, Sarjana Pendidkan Islam Banglades meyatakan bahwa : Islamic education in true sense of temr, is a system of education which en-anbles a man to lead his life according to the Islamic ideology, so that he may easily mould his life in according with tenents of Islam. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang memungkinkan seseorang mampu menjalani kehidupan sesuai dengan ideologi Islam, sehingga ia dalam menjalani hidupnya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. [5]
Sedangkan pengertian menurut Ibnu Hajar adalah “Pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam sehingga terbentuk manusia muslim yang diidealkan,”[6]
Dari uraian tentang pendidikan Islam tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsur dalam pendidikan Islam, sebagai berikut :[7]
1)      Pendidikan dilakukan untuk mengembangkan semua potensi manusia dan usaha untuk meningkatkan kepribadiannya dan dilakukan secara konsisten dari lahir sampai meninggal.
2)      Sasaran pendidikan adalah keseluruhan eksisitensi manusia, intelektual, ilmiah, jasmaniah, spriritual, imajinatif, dan aspek-aspek lain.
3)      Dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab yang meliputi aspek individu dan sosial kemasyrakatan, sehingga menjadi manusia yang bermanfaat baik secara indivu atau sosial.
4)      Memiliki tujuan dan sasaran tertentu sesuai dengan nilai-nilai Islam.
  Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan Nasional yakni pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[8]
Dalam pemendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi menyebutkan bahwa tujuan mata pelajaran pendidkan agama Islam yakni untuk mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjadi keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.[9]
Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan agama Islam bukan hanya tugas dari guru agama saja, tetapi merupakan tugas bersama dalam lingkungan persekolahan baik itu kepala sekolah, guru agama, seluruh aparat sekolah, dan orang tua murid, maka pendidikan agama Islam menjadi perlu dan dikembangkan menjadi budaya sekolah.
Posisi pendidikan agama Islam sebenarnya sudah jelas, yakni sebagai “core” (pusat) pendididkan nasional. Hanya saja dalam prakteknya di lapangan kadangkala mengalami proses reduksi pemahaman dan penerapan, sehingga melahirkan sikap dan perilaku yang eksklusif dan diposisikan marginal. Ada sedikit kekeliruan menempatkan mata pelajaran pendukung di dalam kurikulum  di sekolah. Sehingga menjadikan mata pelajaran PAI ini menjadi tidak penting diajarkan. Padahal PAI memiliki level yang sama diantara mata pelajaran lainnya.
2.    Model Pengembangan Kurikulum PAI di Indonesia
a.         Konsep Kurikulum PAI di Sekolah Umum
Di dalam undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[10] Sehingga kurikulum merupakan salah satu komponen pokok aktivitas pendidikan, dan merupakan penjabaran idealism, cita-cita, tuntutan masyarakat, atau kebutuhan tertentu. Dari kurikulum inilah akan diketahui arah pendidikan, alternatif pendidikan, fungsi pendidikan, serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas pendidikan.
Kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah terdiri atas beberapa aspek, yaitu aspek Al-Qur’an Hadits, keimanan atau aqidah, akhlak, fiqih ( hukum Islam), dan aspek Tarikh (sejarah). Meskipun masing-masing aspek tersebut dalam prakteknya saling mengaitkan atau terkait (mengisi dan melengkapi), tetapi jika dilihat secara teoritis masing-masing memiliki karakteristik tersendiri sebagai berikut:[11]
1.      Aspek Al-Qur’an dan Hadist, menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Aspek Aqidah, menekankan pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan atau keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai asma’ alhusna.
3.      Aspek Akhlak, menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhak terpuji dan menjahui akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Aspek Fiqih, menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan baik.
5.      Aspek tarikh dan kebudayaan islam, menekankan pada mengambil ibrah (contoh atau hikmah) dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena-fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek, dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradapan Islam.
Dalam tataran di lapangan, aspek kajian PAI Menurut Hasbi Ash Shidiqi meliputi: [12]
1.      Tarbitah jismiyah, yaitu segala rupa pendidikan yang wujudnya menyuburkan dan menyehatkan tubuh sertra menegakkannya, supaya dapat merintangi kesukaran yang dihadapi dalam pengalamannya.
2.      Tarbiyah aqliyah, yaitu sebagaimana rupa pendidikan dan pelajaran yang akibatnya mencerdaskan akal dan menajamkan akal.
3.      Tarbiyah adabiyah, yaitu segala rupa praktek maupun berupa teori yang wujudnya meningkatkan budi dan meningkatkan perangai.
Berikut ini table perkembangan kurikulum PAI di sekolah umum pada masa kemerdekaan.[13]
No
Periode Kebijakan
Eksistensi dan Perkembangan PAI
1
Masa Awal (pasca kemerdekaan 1945)
Masih rencana pelajaran, kurikuluim sederhana.
2
Kurikulum tahun 1951
Bersifat ganda muka; pendidikan agama  diberlakukan mulai dari SD sampai perguruan tinggi, tapi opsional.
3
Masa orde baru
Posisi pendidikan agama :
a)      Disejajarkan dengan budi pekerti.
b)      Bagian dari pendidikan cinta bangsa dan tanah air.
c)      Masih dipengarui faham komunisme,konsep septa usaha Tama, konsep panchawardana
4
TAP MPRS No XXVII/1968 – Pencabutan TAP MPRS No XXVI?MPRS/1966
Kurikulum tahun 1968 posisi PAI tidak jelas sebagai pelajaran wajib atau obsi, karena kedua TAP berlaku bersamaan.
5
TAP MPRS No XXVIII/MPRS 1968 Pencabutan TAP MPRS No.II/MPRS No II / MPRS /1960
Kurikulum tahun 1968; posisi pendidikan agama sebagai pelajaran wajib.
6
Pelita 1 (1969-1973), GBHN 1973, perkembangan IPTEK
Kurikulum 1975 (efektif 1976); dasar akademik, konsep PSSI, berorientasi hasil, berprinsip efesien-efektif, satuan pelajaran.
7
Pelita selanjutnya; GBHN tahun 1978 dan tahun 1983
Kurikulum 1984; menyederhanakan kurikulum 1975, ketrampilan proses dikenak dengan CBSA.
8
GBHN 1988 amanatkan :
a)      Peningkatan mutu pendidikan
b)      Perluasan wajib belajar
c)      Perlu segera UU yang mengatur sisdiknas
a)      UUSPN Nomor 2 tahun 1989
b)      Kurikulum tahun 1994 (sarat materi dan overlaping) dan suplemen kurikulum PAI tahun 1994 (1999).
9
Revormasi, otonomi daerah, Desentralisasi Pendidikan.
Kurikulum tahun 2004; Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan kurikulum tahun 2006; Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berorientasi mutu.  

Kurikulum selalu dinamis, senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Bila suatu Negara beralih dari Negara yang dijajah menjadi Negara yang merdeka, maka kurikulum akan mengalami perubahan menyeluruh.[14] Hal ini juga, bila ada pergantian pemerintahan atau politik maka akan ada perubahan kebijakan terhadap tatanan pemerintahan, termasuk didalamnya kebijakan pendidikan (kurikulum).
b.   Model Pembelajaran Kurikulum PAI di Sekolah Umum
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, aspek-aspek pendidikan telah mengalami berbagai perubahan dan perbaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan (policy) yang pernah diberlakukan dari satu pemerintah ke pemerintahan lain. Demikian juga, pendidikan Islam mendapat efek dari perubahan kebijakan tersebut. Sehingga dalam kerikulum seperti yang telah dikemukakan didepan, mengalami perubahan baik itu dari masa orde lama, orde baru dan reformasi. Maka dapat dilihat corak model pengembangan kurikulum PAI yang pernah berkembang, seperti berikut:
1)      Model Dikotomi
Pada model ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan yakni pendidikan agama dan pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga kehidupan agama Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja.[15] Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian. Dengan demikian, pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan non-agama, pendidika keislaman, dan seterusnya.
Menurut Azumardi Azra bahwa pemahaman semacam ini muncul ketika ummat Islam Indonesia mengalami penjajahan yang sangat panjang. Dimana ummat Islam mengalami keterbelakangan dan diintregrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perbenturan ummat Islam dengan pola pendidikan dan kemajuan barat memunculkan kaum intelektual baru (cendekiawan sekuler). Kaum intelektual ini mendapat pendidikan ala barat, sehingga dalam proses pendidikan mereka menjadi teraliensi (terasing) dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri.[16] Bahkan terjadi gap (kesenjangan) antara kaum intelektual baru (sekuler) dengan intelektual lama (ulama). Maka ulama’ masa ini dipersepsikan sebagai kaum sarungan yang hanya mengerti persoalan keagamaan dan buta persoalan keduniaan.
Pandanagan dikotomis ini mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting. Sehingga menekankan pada pendalaman al ulum al addiniyah, yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu ulum) dianggap terpisah dengan agama. Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif. Doktriner dan absolutis.


2)    Model Mekanisme
Model mekanisme ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya.[17] Hal ini sebagaimana sebuah fungsi yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi.[18]
Secara sederhana dapat dipahami bahwa aspek-aspek atau nilai-niai itu sendiri terdiri atas; nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai-nilai agama dengan nilai-nilai lainnya bersifat lateralsekuensial, berarti diantara masing-masing mata pelajara tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa saling berkonsultasi.18
Model-model ini dapat dikembangkan pada sekolah umum sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius. Dalam implikasinya di lapangan sangat tergantung pada kemauan, kemampuan atau political-will dari para pemimpin sekolah, terutama dalam membangun hubungan kerja sama dengan mata pelajaran yang lainnya.
Model diatas dapat diaplikasikan melalui pengintregasian imtak dengan mata materi pelajaran yakni dengan upaya mengintregasikan konsep atau ajaran agama ke dalam materi (teori,konsep) yang sedang dipelajari oleh peserta didik atau diajarkan oleh guru. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara: [19]
a)      Pengintregasian secara filosofis, yakni bila tujuan fungsional mata pelajaran umum sama saja dengan tujuan fungsional mata pelajaran agama, misalnya, Islam mengajarkan perlunya hidup sehat, sementara itu kesehatan juga begitu. Demikian juga matematika juga mengajarkan ketelitian, keuletan, maka Islam juga mengajarkan demikian.
b)      Pengintregasian dilakukan jika konsep agama saling mendukung dengan konsep pengetahuan umum. Misalnya Islam mengajarkan membela Negara dan taat kepada aturan pemerintah, maka tatacara dan pelaksanaan diajarkan oleh mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Pengintregasian imtaq dalam memilih bahan ajar dapat dilakukan dengan cara, misalnya guru bahasa Indonesia memilih bahan-bahan ajar yang memuat ajaran Islam untuk dibahas, seperti dalam memilih sajak-sajak atau tema-tema kajian yang bernafaskan Islam. Ini berarti guru ingin meningkatkan imtaq peserta didik melalui bahasa Indonesia. Sedangkan pengintregasian imtaq dalam memilih media pembelajaran dapat dilakukan dengan cara misalnya ketika guru matimatika memilih contoh bangunan, maka ia menggunakan contoh bangunan masjid untuk mengganti bangunan rumah. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan hai peserta didik kepada masjid. Tentunya hal ini dilakukan ketika ada peluang untuk mengaitkan dan tidak perlu ada paksaan.
3)    Model Organism atau Sistematik
Meminjam istilah biologi, bahwa organis dapat diartikan sebagai susunan yang bersistem dari berbagai jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks pendidikan Islam, model organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu perwujudan hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama. [20]
Pandangan semacam itu menggarisbawai bahwa pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines value yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan-hubungan vertical-linier dengan nilai-nilai agama.[21] Melalui upaya-upaya seperti itu, maka system pendidikan Islam diharapkan dapat mengintregasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup didalam nilai-nilai agama.
Melalui upaya tersebut peserta didik dibawah ke pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif, penghayatan niali-nilai agama secara efektif, dan akhirnya penghayatan nilai-nilai agama secara nyata. Atau menurut istilah pedagogig disebut “dari gnosis samapai ke praksis”. Untuk sampai ke praksis, ada atau peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi pada diri peserta didik, yaitu munculnya kenginginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai-nilai agama. Peristiwa ini disebut conatio, dan langkah untuk membimbing peserta didik membulatkan tekad ini disebut konatif.[22]
3.                Kurikulum PAI yang Berorientasi mutu
Dalam UU Sisdiknas tahun 2003 Bab X pasal 36, 37, 38 yang intinya dijelaskan : Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, potensi daerah, dan peserta didik”. Pengembangan kurikulum yang ditetapkan ini, dalam rangka membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Seiring dengan pemberlakuan otonom daerah, yang berpengaruh juga pada pemberian otonom pendidikan, menurut adanya pengembangan kurikulum yang lebih akomodatif di sekolah. oleh karena itu, setiap satuan pendidikan islam dituntut untuk mampu mengembangkan kurikulum dengan mengorientasikan pada peningkatan keimanan dan ketakwaan sebagai pemandu dalam menggali ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk menggali dan untuk memperdayakan keragaman kultur dan potensi daerah, sehingga akan tampil sosok yang berketerampilan dan berakhlak mulia dalam rangka memenuhi tuntutan dunia kerja.
Secara normatif pendidikan islam (PAI) di sekolah umum sebagai refleksi pemikiran pendidikan islam, sosialisasi, internalisasi, dan rekontrulsi pemahaman ajaran dan nilai-nilai Islam. Secara praxis PAI bertujuan mengembangkan kepribadian muslim yang memiliki kemampuan kognitif, afektif, normatif, dan psikomotorik, yang kemudian dikewajantakan dalam cara berfikir, bersikap, dan bertindak dalam hehidupannya.[23] Sehingga diharapkan dengan pembelajaran PAI dapat menjadi pesrta didik mampu pengembangan kepribadian sebagai muslim yang baik, menghayati dan mengamalkan ajaran serta nilai islam dalam kehidupannya. Dan kemudian PAI tidak hanya dipahami secara teoritis, namun dapat diamalkan secara praxis.
Reaktualisasi pendidikan agama islam di sekolah menuntut adanya perubahan aspek metodologi pembelajaran dari yang bersifat dofmatis-dogtiner dan tradisional menuju kepada pembelajaran yang lebih dinamis-aktual dan kontekstual. Untuk mengimplementasikan pendekatan kontekstual tersebut tersebut diperlukan modal dasar antara lain : pendekatan filosofis dalam memahami teks-teks agama, supaya tidak kehilangan ide-ide segar yang actual dan kontekstual.
Pendidikan Agama Islam di sekolah pada dasarnya lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tartan kompetensi (competence), tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Lickona bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlikan tiga proses pembinaan secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowling, moral feeling, hingga moral action. [24]
Revitalisasi pendidikan agama islam tidak akan dapat dilakukan jika guru memandang kurikulum yang ada secara sempit. Cara pandang demikian ini mengakibatkan pembelajaran tidak dinamis, terlalu tekstual, dan kurang memperhatikan kontekstual materi pembelajaran dalam kurikulum. Menurut Beane membag kurikulum dalam empat jenis, yaitu : (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi siswa. Dan hamper sama menurut Said Hamid Hasan yang berpendapat bahwa setidak-tidaknya ada empat dimensi kurikulum, yaitu (a) kurikulum sebagai suatu idea atau konsep (b) kurikulum sebagai rencana tertulis (c) kurikulum sebagai suatu kegiatan atau proses, dan (d) kurikulum sebagai hasil belajar. [25]
Dalam pengembangan kurikulum dilsakukan searah dengan perkembangan factor Non-Kurikulum, antara lain akibat perubahan ekonomi, politik, social, budaya, hokum dan lain-lain, termasuk factor akademik kurikuluymnya. Artinya kurikulum tidak berdiri sendiri, melainkan dilingkari oleh berbagai factor tersebut. [26]
Dalam tataran praksis bahwa kurikulum sebagai hasil belajar dan sebagai pembelajran belajar itu yang manageable sehingga pembelajaran agama islam bukan sekedar kurikulum tertulis yang hanya disampaikan sebagai pengetahuan (kognitif) saja. Tetapi kurikulum PAI mampu memberikan nilai terhadap peserta didik dengan pemahaman, perilaku, sikap terhadap materi yang ada.
Dalam menghadapi tantangan global, maka materi PAI tidak hanya persoalan keagamaan secara sempit namun juga menyentuh wilayah social. Maka perlu ada reiorentasi wawasan PAI yang kontekstual. Menurut Abdurahman Assegaf bahwa setidaknya ada empat orientasi wawasan PAI yang relevan. Pertama, PAI berwawasan kebangsaan. Kedua, PAI berwawasan demkratis. ketiga, PAI berwawasan HAM. Keempat, PAI berwawasan pluralism. Dalam jangka panjang, keempat wawasan PAI diatas diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam mengurangi problematika ekonomi, moral, sosial, dan politik bangsa Indonesia.[27]
Dalam pelaksanaannya, diakui PAI mengalami banyak tantangan diantaranya; minimnya jam pelajaran yang diberikan. Dalam waktu yang singkat itu, guru harus menyampaikan materi yang cukup padt terhadap peserta didik.[28] Maka diperlukan suatu pendekatan yang efektif agar materi PAI dapat disampaikan secara bermakna, sehingga dapat mengoptimalkan sedikitnya jam mata pelajaran di sekolah. dalam hal ini, ada beberapa pendekatan yang digunakan baik itu pada tingkat sekolah dasar maupun menengah, yakni.[29]
a)   Pendekatan keimanan, yaitu memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk di ala mini.
b)   Pendekatan pengalaman, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengalaman ibadah dan akhak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam kehidupan.
c)    Pendekatan pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan kepaa peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku yang sesuai dengan ajaran islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan.
d)   Pendekatan rasional yaitu memberikan peran pada akal peserta didik dalam memahami dan membedakan berbagai bahan ajar dalam standar materi serta kaitannya dengan perilaku yang baik dan buruk dalam kehidupan.
e)   Pendekatan emosional yaitu upaya menggugah perasaan peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
f)     Pendekatan fungsional yaitu menyajikan bentuk semua standar materi (Al-Qur’an, keimanan, akhlak, fiqih, dan tarikh) dari segi manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti yang luas.
g)   Pendekatan keteladaan yaitu menjadikan figure guru agama dan nonagama serta semua pihak sekolah sebagai cermin manusia yang berkepribadian.
Dalam pelaksanaan dilapangan, materi PAI jangan hanya disampaikan terkait dengan aspek-aspek kognitif dan psikomotorik saja, tetapi juga dari aspek efektif. Padahal hal yang cukup penting terkait dengan pembinaan sikap dan cita rasa beragama terkait dengan aspek efektif. Seharusnya aspek ini mampu buit in pada diri peserta didik. Sehingga sebagai solusi yakni melalui keteladanan atau peragaan hidup secara riil serta penciptaan suasana yang religius di sekolah umum.


Daftar Pustaka

Majid , Abdul & Dian Andayani, 2005, Pendidikan Agama Islam Berbasis  Kompetensi, Bandung : Rosda Karya,

Hamami , Tasman. 2006.  Pemikiran Pendidikan Islam, dalam ringkasan Desertasi Program Pasca Sarjana UIN Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dalam www.Kemenag.go.id, diakses 2011

UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional,  Bandung : Citra Umbara

            Arifin M, 1991  Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat,  Jakarta : Golden Pers,

            Hajar, Ibnu , 1994 Pendekatan Keberagamaan Dalam Pemilihan  Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam, dalam H.M. Chabibi Toha, dkk (ed) Metode Pengajaran Agama, Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,

            Majid, Abdul & Dian Andayani, 2005 Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Bandung : Rosda Karya,
Assegaf, Abdurrahman, 2005  Politik Pendidikan Nasional , Yogyakarta : Kurnia Kalam,

 Suyanto & Djihan Hisyam,, 2000 Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta : Adicia




[1] Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis  Kompetensi, (Bandung : Rosda Karya,2005), hlm 165
[2] Tasman Hamami, Pemikiran Pendidikan Islam, dalam ringkasan Desertasi Program Pasca Sarjana UIN Yogyakarta,2006. Hlm 1
[3] Peraturan Pemerintsah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dalam www.Kemenag.go.id, diakses 2011
[4]  UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional, ( Bandung : Citra Umbara, 2003), hlm 3
[5]  H.M. Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, ( Jakarta : Golden Pers, 1991 ) hlm.7
[6] Ibnu Hajar, Pendekatan Keberagamaan Dalam Pemilihan  Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam, dalam H.M. Chabibi Toha, dkk (ed) Metode Pengajaran Agama, ( Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1994), hlm. 14-15-
7 Ibid, hlm 16

8 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional…..,hlm 7
9  Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam, ( Jakarta : rajawali Press, 2009),hlm 45..
10  UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional…,hlm 5,
11 Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam,,,.hlm 33.
12 Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung : Rosda Karya, 2005), hlm 138.
13 Tasman Hamami,Pemikiran Pendidikan Islam….,hal 13
14 Abdurrahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional , (Yogyakarta : Kurnia Kalam, 2005), hlm 135. Lihat juga S. Nasution, asas-asas kurikulum, (Bandung : Jemmars, 1988),218
15 Muhaimin,Rekonstruksi Pendidikan Islam…,hlm 59-60.
16 Ibid, hlm 61
17 Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam,,,. Hlm 54.
                [18] Ibid, hlm 54.
[19] Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam…,hlm 43-44. 
[20] Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam…,hlm 67.
[21]  Ibid , hlm 67
[22]  Ibid, hlm 313
[23] Tasman Hamami, Pemikiran Pendidikan Islam,,. hlm 1.
[24] Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam…,hlm 313
[25] Suyanto & Djihan Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta : Adicia, 2000), hlm 60
[26] Abdurahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Kurnia Kalam, 2005), hlm 126
[27] Lihat Abdurahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional…, hlm 245.
[28] Lihat Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya : Pustaka Pelajar, 2004), hlm 295.
[29] Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasisi Kompetensi…, hlm 170-171