A. PENDAHULUAN
Diantara
peran strategis pendidikan agama Islam (PAI) dalam sistem pendidikan nasional
terletak pada fungsi pentingnya dalam
mencapai tujuan pendidikan nasional, yang utamanya dalam mengembangkan manusia
Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, hal ini menjadi bagian esensial dalam pembangunan Nasioanal
Indonesia seutuhnya. Namun yang menjadi masalah adalah seberapa jauh peran
strategis PAI ini telah diperankan secara efektif pada dataran operasional
pendidkan agama, terutama dalam pembentukan kepribadian bangsa.
Pendidikan
agama Islam di Indonesia dewasa ini mendapatka sorotan tajam dari masyarakat.
Sebagian pengamat pendididkan berpendapat bahwa krisis ekonomi dan politik
terutama krisis moral yang melanda masyarakat Indonesia secara berkepanjangan disebabkan
pembinaan mental yang gagal. Hal ini menandakan bahwa PAI telah gagal membina
masyarakat, khususnya peserata didik unutuk menjadi insan yang beriman dan
bertaqwa. Menurut Nurkhalis Majid bahwa kegagalan Pendidikan Agama Islam
disebabakan pembelajaran PAI lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat
formal dan hafalan, bukan pada pemaknaannya.[1]
Proses belajar mengajar diakui selama ini masih mengejar target pencapaian
kurikulum yang telah ditentukan, padahal yang diperlukan lebih pada suasana keagamaan.
Diasumsikan
bahwa problem PAI berkaitan dengan pemikiran pendidikan Islam yang
direfleksikan dalam pengembangan kurikulum yang ada sekarang ini lebih mengarah
beberapa aspek, yakni: pertama pengembangan kurikulum lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor politis dari pada pemikiran filosofos-pedagogis. Kedua
pengembangan kurikulum PAI masih bersifat parsial. Ketiga kurikulum PAI
lebih berorientasi pada pencapaian target materi (materi oriented) dari
pada kemampuan dasar dalam melakukan perbuatan dan pemecahan problem keagamaan
siswa. Keempat pembelajaran PAI lebih cenderung pada pengembangan asapek
kognitif, sehingga tidak dapat mengembangkan kepribadian siswa secara integratif,
bahkan PAI lebih cenderung berfungsi sebagai penyekolahan (schooling),
sedangkan sebagai fungsi pendidikan (education) nilai dan ajaran islam
masih kurang efektif.[2]
Berangkat
dari silsilah, perl adanya pemikiran pendidikan Islam yang direfleksikan dalam
kurikulum PAI secara serius. Perlunya kajian-kajian tersebut akan bermanfaat
bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan
melalui konstruks dan pemetaan pemikiran (filsafat) pendidikan yang memahami
kecenderungan, pola-pola, kerangka teoritis dan substansi pemikiran serta sikap
dalam merespon persoalan pendidikan Islam, sosial, politik, moral di Indonesia.
Kemudian ditelaah secara kritis dan dicarikan jalan solusi, sehingga pendidikan
Islam yang ada disesuikan dan dikembangkan dalam konteks keindonesiaan di masa
depan. Maka makalah ini berusaha untuk memotret kurikulum PAI dalam konteks
pendidikan di sekolah umum dan pengembangannya.
B. PEMBAHASAN
1. Reposisi
Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Pendidikan Nasional
a. Landasan
Yuridis Pelaksanaan PAI
Dasar
pelaksanaan pendidikan Agama Islam berasal dari perundang-undangan yang secara
tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di
sekolah formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari:
1) Dasar
pancasila yaitu dasar falsafah Negeri RI, pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha
Esa.
2) Dasar
struktural atau konstitusional, yaitu UUD 1945 dalam bab XI pasal 29 ayat 1 dan
2 yang berbunyi bahwa : a) Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, b) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut
agama dan kepercayaan itu.
3) UU
Sisdiknas No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional :
Pasal 37
Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, kewarganegaraan,
bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan
budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan atau kejujuran, dan
muatan lokal.
4) Peraturan
pemerintah Nomor 55 tahun 2007 Tentang pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.[3]
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
peraturan pemerintah ini, yang dimaksud dengan Pendidikan Agama adalah
pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan
keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan.
Psal 3
(1)
Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan wajib menjalankan atau menyelenggarakan pendidikan agama.
(2)
Pengelolaan pendidikan agama dilaksankan oleh menteri agama.
Pasal 4
(1)
Pendidikan agama pada pendidikan formal dan program pendidikan
kesehatan sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau
mata kuliah agama.
(2)
Setiap peserta didik pada satuan pendidikan disemua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang
dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama.
(3)
Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan
agama.
b. Peran PAI dalam Pendidikan
Nasional
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.[4]
Dalam
perspektif pendidikan Islam, potensi diri manusia diistilahkan dengan Fitrah
manusia. Fitrah disini dipahami sebagai potensi yang sudah ada, dan perlu
digali dan dikembangkan.
Menurut
Dr. Muhammad Ibrahim SA, Sarjana Pendidkan Islam Banglades meyatakan bahwa : Islamic
education in true sense of temr, is a system of education which en-anbles a man
to lead his life according to the Islamic ideology, so that he may easily mould
his life in according with tenents of Islam. Pendidikan Islam adalah
pendidikan yang memungkinkan seseorang mampu menjalani kehidupan sesuai dengan
ideologi Islam, sehingga ia dalam menjalani hidupnya sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam. [5]
Sedangkan
pengertian menurut Ibnu Hajar adalah “Pendidikan Islam adalah bimbingan
terhadap jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan,
mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam
sehingga terbentuk manusia muslim yang diidealkan,”[6]
Dari
uraian tentang pendidikan Islam tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa
unsur dalam pendidikan Islam, sebagai berikut :[7]
1) Pendidikan
dilakukan untuk mengembangkan semua potensi manusia dan usaha untuk
meningkatkan kepribadiannya dan dilakukan secara konsisten dari lahir sampai
meninggal.
2) Sasaran
pendidikan adalah keseluruhan eksisitensi manusia, intelektual, ilmiah,
jasmaniah, spriritual, imajinatif, dan aspek-aspek lain.
3) Dilakukan
dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab yang meliputi aspek individu dan
sosial kemasyrakatan, sehingga menjadi manusia yang bermanfaat baik secara
indivu atau sosial.
4) Memiliki
tujuan dan sasaran tertentu sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan Nasional yakni pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[8]
Dalam
pemendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi menyebutkan bahwa tujuan mata
pelajaran pendidkan agama Islam yakni untuk mewujudkan manusia Indonesia yang
taat beragama dan berakhlak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin
beribadah, cerdas, produktif, jujur adil, etis, berdisiplin, bertoleransi,
menjadi keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya
agama dalam komunitas sekolah.[9]
Dari
sini dapat dipahami bahwa pendidikan agama Islam bukan hanya tugas dari guru
agama saja, tetapi merupakan tugas bersama dalam lingkungan persekolahan baik
itu kepala sekolah, guru agama, seluruh aparat sekolah, dan orang tua murid,
maka pendidikan agama Islam menjadi perlu dan dikembangkan menjadi budaya
sekolah.
Posisi
pendidikan agama Islam sebenarnya sudah jelas, yakni sebagai “core” (pusat)
pendididkan nasional. Hanya saja dalam prakteknya di lapangan kadangkala
mengalami proses reduksi pemahaman dan penerapan, sehingga melahirkan sikap dan
perilaku yang eksklusif dan diposisikan marginal. Ada sedikit kekeliruan
menempatkan mata pelajaran pendukung di dalam kurikulum di sekolah. Sehingga menjadikan mata
pelajaran PAI ini menjadi tidak penting diajarkan. Padahal PAI memiliki level
yang sama diantara mata pelajaran lainnya.
2. Model
Pengembangan Kurikulum PAI di Indonesia
a.
Konsep Kurikulum PAI di Sekolah Umum
Di
dalam undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.[10] Sehingga
kurikulum merupakan salah satu komponen pokok aktivitas pendidikan, dan
merupakan penjabaran idealism, cita-cita, tuntutan masyarakat, atau kebutuhan
tertentu. Dari kurikulum inilah akan diketahui arah pendidikan, alternatif
pendidikan, fungsi pendidikan, serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari
aktivitas pendidikan.
Kurikulum
pendidikan agama Islam di sekolah terdiri atas beberapa aspek, yaitu aspek
Al-Qur’an Hadits, keimanan atau aqidah, akhlak, fiqih ( hukum Islam), dan aspek
Tarikh (sejarah). Meskipun masing-masing aspek tersebut dalam prakteknya saling
mengaitkan atau terkait (mengisi dan melengkapi), tetapi jika dilihat secara
teoritis masing-masing memiliki karakteristik tersendiri sebagai berikut:[11]
1. Aspek
Al-Qur’an dan Hadist, menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar,
memahami makna secara tekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Aspek
Aqidah, menekankan pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan atau
keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai asma’
alhusna.
3. Aspek
Akhlak, menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhak terpuji dan
menjahui akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari.
4. Aspek
Fiqih, menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang
benar dan baik.
5. Aspek
tarikh dan kebudayaan islam, menekankan pada mengambil ibrah (contoh
atau hikmah) dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani
tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena-fenomena sosial,
budaya, politik, ekonomi, iptek, dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan
dan peradapan Islam.
Dalam
tataran di lapangan, aspek kajian PAI Menurut Hasbi Ash Shidiqi meliputi: [12]
1. Tarbitah
jismiyah, yaitu
segala rupa pendidikan yang wujudnya menyuburkan dan menyehatkan tubuh sertra
menegakkannya, supaya dapat merintangi kesukaran yang dihadapi dalam
pengalamannya.
2. Tarbiyah
aqliyah, yaitu
sebagaimana rupa pendidikan dan pelajaran yang akibatnya mencerdaskan akal dan
menajamkan akal.
3. Tarbiyah
adabiyah, yaitu
segala rupa praktek maupun berupa teori yang wujudnya meningkatkan budi dan
meningkatkan perangai.
Berikut
ini table perkembangan kurikulum PAI di sekolah umum pada masa kemerdekaan.[13]
No
|
Periode Kebijakan
|
Eksistensi dan Perkembangan PAI
|
1
|
Masa Awal (pasca kemerdekaan 1945)
|
Masih rencana pelajaran, kurikuluim sederhana.
|
2
|
Kurikulum tahun 1951
|
Bersifat ganda muka; pendidikan agama diberlakukan mulai dari SD sampai perguruan
tinggi, tapi opsional.
|
3
|
Masa orde baru
|
Posisi pendidikan agama :
a) Disejajarkan
dengan budi pekerti.
b) Bagian
dari pendidikan cinta bangsa dan tanah air.
c) Masih
dipengarui faham komunisme,konsep septa usaha Tama, konsep panchawardana
|
4
|
TAP MPRS No XXVII/1968 – Pencabutan TAP MPRS No XXVI?MPRS/1966
|
Kurikulum tahun 1968 posisi PAI tidak jelas sebagai pelajaran
wajib atau obsi, karena kedua TAP berlaku bersamaan.
|
5
|
TAP MPRS No XXVIII/MPRS 1968 Pencabutan TAP MPRS No.II/MPRS No II
/ MPRS /1960
|
Kurikulum tahun 1968; posisi pendidikan agama sebagai pelajaran
wajib.
|
6
|
Pelita 1 (1969-1973), GBHN 1973, perkembangan IPTEK
|
Kurikulum 1975 (efektif 1976); dasar akademik, konsep PSSI,
berorientasi hasil, berprinsip efesien-efektif, satuan pelajaran.
|
7
|
Pelita selanjutnya; GBHN tahun 1978 dan tahun 1983
|
Kurikulum 1984; menyederhanakan kurikulum 1975, ketrampilan
proses dikenak dengan CBSA.
|
8
|
GBHN 1988 amanatkan :
a) Peningkatan
mutu pendidikan
b) Perluasan
wajib belajar
c) Perlu
segera UU yang mengatur sisdiknas
|
a) UUSPN
Nomor 2 tahun 1989
b) Kurikulum
tahun 1994 (sarat materi dan overlaping) dan suplemen kurikulum PAI tahun
1994 (1999).
|
9
|
Revormasi, otonomi daerah, Desentralisasi Pendidikan.
|
Kurikulum tahun 2004; Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan
kurikulum tahun 2006; Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berorientasi
mutu.
|
Kurikulum
selalu dinamis, senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam
faktor-faktor yang mendasarinya. Bila suatu Negara beralih dari Negara yang
dijajah menjadi Negara yang merdeka, maka kurikulum akan mengalami perubahan
menyeluruh.[14] Hal
ini juga, bila ada pergantian pemerintahan atau politik maka akan ada perubahan
kebijakan terhadap tatanan pemerintahan, termasuk didalamnya kebijakan
pendidikan (kurikulum).
b.
Model Pembelajaran Kurikulum PAI di Sekolah
Umum
Dalam
sejarah pendidikan di Indonesia, aspek-aspek pendidikan telah mengalami
berbagai perubahan dan perbaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan (policy)
yang pernah diberlakukan dari satu pemerintah ke pemerintahan lain. Demikian
juga, pendidikan Islam mendapat efek dari perubahan kebijakan tersebut.
Sehingga dalam kerikulum seperti yang telah dikemukakan didepan, mengalami
perubahan baik itu dari masa orde lama, orde baru dan reformasi. Maka dapat
dilihat corak model pengembangan kurikulum PAI yang pernah berkembang, seperti
berikut:
1) Model
Dikotomi
Pada
model ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana dan kata kuncinya
adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang
berlawanan yakni pendidikan agama dan pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis
tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang kehidupan dunia dan
akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga kehidupan agama Islam hanya
diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja.[15]
Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian. Dengan
demikian, pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan non-agama, pendidika
keislaman, dan seterusnya.
Menurut
Azumardi Azra bahwa pemahaman semacam ini muncul ketika ummat Islam Indonesia
mengalami penjajahan yang sangat panjang. Dimana ummat Islam mengalami
keterbelakangan dan diintregrasi dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Perbenturan ummat Islam dengan pola pendidikan dan kemajuan barat
memunculkan kaum intelektual baru (cendekiawan sekuler). Kaum intelektual ini mendapat
pendidikan ala barat, sehingga dalam proses pendidikan mereka menjadi teraliensi
(terasing) dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri.[16]
Bahkan terjadi gap (kesenjangan) antara kaum intelektual baru (sekuler)
dengan intelektual lama (ulama). Maka ulama’ masa ini dipersepsikan sebagai
kaum sarungan yang hanya mengerti persoalan keagamaan dan buta persoalan
keduniaan.
Pandanagan
dikotomis ini mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama Islam
yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap
tidak penting. Sehingga menekankan pada pendalaman al ulum al addiniyah, yang
merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu
ulum) dianggap terpisah dengan agama. Demikian pula pendekatan yang
dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif. Doktriner dan absolutis.
2) Model
Mekanisme
Model
mekanisme ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan pendidikan
dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang
masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya.[17]
Hal ini sebagaimana sebuah fungsi yang terdiri atas beberapa komponen atau
elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri dan
antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi.[18]
Secara
sederhana dapat dipahami bahwa aspek-aspek atau nilai-niai itu sendiri terdiri
atas; nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi,
dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu
aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Hubungan antara
nilai-nilai agama dengan nilai-nilai lainnya bersifat lateralsekuensial,
berarti diantara masing-masing mata pelajara tersebut mempunyai relasi
sederajat yang bisa saling berkonsultasi.18
Model-model
ini dapat dikembangkan pada sekolah umum sebagai upaya pembentukan kepribadian
yang religius. Dalam implikasinya di lapangan sangat tergantung pada kemauan,
kemampuan atau political-will dari para pemimpin sekolah, terutama dalam
membangun hubungan kerja sama dengan mata pelajaran yang lainnya.
Model
diatas dapat diaplikasikan melalui pengintregasian imtak dengan mata materi
pelajaran yakni dengan upaya mengintregasikan konsep atau ajaran agama ke dalam
materi (teori,konsep) yang sedang dipelajari oleh peserta didik atau diajarkan
oleh guru. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara: [19]
a) Pengintregasian
secara filosofis, yakni bila tujuan fungsional mata pelajaran umum sama saja
dengan tujuan fungsional mata pelajaran agama, misalnya, Islam mengajarkan
perlunya hidup sehat, sementara itu kesehatan juga begitu. Demikian juga
matematika juga mengajarkan ketelitian, keuletan, maka Islam juga mengajarkan
demikian.
b) Pengintregasian
dilakukan jika konsep agama saling mendukung dengan konsep pengetahuan umum.
Misalnya Islam mengajarkan membela Negara dan taat kepada aturan pemerintah,
maka tatacara dan pelaksanaan diajarkan oleh mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan.
Pengintregasian
imtaq dalam memilih bahan ajar dapat dilakukan dengan cara, misalnya guru
bahasa Indonesia memilih bahan-bahan ajar yang memuat ajaran Islam untuk
dibahas, seperti dalam memilih sajak-sajak atau tema-tema kajian yang
bernafaskan Islam. Ini berarti guru ingin meningkatkan imtaq peserta didik
melalui bahasa Indonesia. Sedangkan pengintregasian imtaq dalam memilih media
pembelajaran dapat dilakukan dengan cara misalnya ketika guru matimatika
memilih contoh bangunan, maka ia menggunakan contoh bangunan masjid untuk
mengganti bangunan rumah. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan hai peserta
didik kepada masjid. Tentunya hal ini dilakukan ketika ada peluang untuk
mengaitkan dan tidak perlu ada paksaan.
3) Model
Organism atau Sistematik
Meminjam
istilah biologi, bahwa organis dapat diartikan sebagai susunan yang bersistem
dari berbagai jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks pendidikan Islam,
model organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan
suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen bersama dan bekerja sama secara
terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu perwujudan hidup yang religius atau
dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama. [20]
Pandangan
semacam itu menggarisbawai bahwa pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun
dari fundamental doctrines value yang tertuang dan terkandung dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai didudukkan
sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya
didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan-hubungan vertical-linier
dengan nilai-nilai agama.[21]
Melalui upaya-upaya seperti itu, maka system pendidikan Islam diharapkan dapat
mengintregasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik,
serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan professional, dan
sekaligus hidup didalam nilai-nilai agama.
Melalui
upaya tersebut peserta didik dibawah ke pengenalan nilai-nilai agama secara
kognitif, penghayatan niali-nilai agama secara efektif, dan akhirnya
penghayatan nilai-nilai agama secara nyata. Atau menurut istilah pedagogig
disebut “dari gnosis samapai ke praksis”. Untuk sampai ke praksis, ada atau
peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi pada diri peserta didik,
yaitu munculnya kenginginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan
nilai-nilai agama. Peristiwa ini disebut conatio, dan langkah untuk
membimbing peserta didik membulatkan tekad ini disebut konatif.[22]
3.
Kurikulum PAI yang Berorientasi mutu
Dalam UU Sisdiknas tahun 2003 Bab X pasal 36,
37, 38 yang intinya dijelaskan : Pengembangan kurikulum dilakukan dengan
mengacu standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, potensi daerah, dan peserta didik”. Pengembangan kurikulum yang
ditetapkan ini, dalam rangka membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan
yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Seiring dengan pemberlakuan otonom daerah, yang
berpengaruh juga pada pemberian otonom pendidikan, menurut adanya pengembangan
kurikulum yang lebih akomodatif di sekolah. oleh karena itu, setiap satuan
pendidikan islam dituntut untuk mampu mengembangkan kurikulum dengan
mengorientasikan pada peningkatan keimanan dan ketakwaan sebagai pemandu dalam
menggali ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk menggali dan untuk
memperdayakan keragaman kultur dan potensi daerah, sehingga akan tampil sosok
yang berketerampilan dan berakhlak mulia dalam rangka memenuhi tuntutan dunia
kerja.
Secara normatif pendidikan islam (PAI) di
sekolah umum sebagai refleksi pemikiran pendidikan islam, sosialisasi,
internalisasi, dan rekontrulsi pemahaman ajaran dan nilai-nilai Islam. Secara
praxis PAI bertujuan mengembangkan kepribadian muslim yang memiliki kemampuan
kognitif, afektif, normatif, dan psikomotorik, yang kemudian dikewajantakan
dalam cara berfikir, bersikap, dan bertindak dalam hehidupannya.[23]
Sehingga diharapkan dengan pembelajaran PAI dapat menjadi pesrta didik mampu
pengembangan kepribadian sebagai muslim yang baik, menghayati dan mengamalkan
ajaran serta nilai islam dalam kehidupannya. Dan kemudian PAI tidak hanya
dipahami secara teoritis, namun dapat diamalkan secara praxis.
Reaktualisasi pendidikan agama islam di sekolah
menuntut adanya perubahan aspek metodologi pembelajaran dari yang bersifat
dofmatis-dogtiner dan tradisional menuju kepada pembelajaran yang lebih
dinamis-aktual dan kontekstual. Untuk mengimplementasikan pendekatan
kontekstual tersebut tersebut diperlukan modal dasar antara lain : pendekatan
filosofis dalam memahami teks-teks agama, supaya tidak kehilangan ide-ide segar
yang actual dan kontekstual.
Pendidikan Agama Islam di sekolah pada dasarnya
lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik
tidak hanya berhenti pada tartan kompetensi (competence), tetapi sampai
memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan
nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Lickona bahwa
untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlikan
tiga proses pembinaan secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowling,
moral feeling, hingga moral action. [24]
Revitalisasi pendidikan agama islam tidak akan
dapat dilakukan jika guru memandang kurikulum yang ada secara sempit. Cara
pandang demikian ini mengakibatkan pembelajaran tidak dinamis, terlalu
tekstual, dan kurang memperhatikan kontekstual materi pembelajaran dalam
kurikulum. Menurut Beane membag kurikulum dalam empat jenis, yaitu : (1)
kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program, (3) kurikulum sebagai
hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar
bagi siswa. Dan hamper sama menurut Said Hamid Hasan yang berpendapat bahwa
setidak-tidaknya ada empat dimensi kurikulum, yaitu (a) kurikulum sebagai suatu
idea atau konsep (b) kurikulum sebagai rencana tertulis (c) kurikulum sebagai
suatu kegiatan atau proses, dan (d) kurikulum sebagai hasil belajar. [25]
Dalam pengembangan kurikulum dilsakukan searah
dengan perkembangan factor Non-Kurikulum, antara lain akibat perubahan ekonomi,
politik, social, budaya, hokum dan lain-lain, termasuk factor akademik
kurikuluymnya. Artinya kurikulum tidak berdiri sendiri, melainkan dilingkari
oleh berbagai factor tersebut. [26]
Dalam tataran praksis bahwa kurikulum sebagai hasil
belajar dan sebagai pembelajran belajar itu yang manageable sehingga
pembelajaran agama islam bukan sekedar kurikulum tertulis yang hanya
disampaikan sebagai pengetahuan (kognitif) saja. Tetapi kurikulum PAI mampu
memberikan nilai terhadap peserta didik dengan pemahaman, perilaku, sikap
terhadap materi yang ada.
Dalam menghadapi tantangan global, maka materi
PAI tidak hanya persoalan keagamaan secara sempit namun juga menyentuh wilayah
social. Maka perlu ada reiorentasi wawasan PAI yang kontekstual. Menurut
Abdurahman Assegaf bahwa setidaknya ada empat orientasi wawasan PAI yang
relevan. Pertama, PAI berwawasan kebangsaan. Kedua, PAI
berwawasan demkratis. ketiga, PAI berwawasan HAM. Keempat, PAI
berwawasan pluralism. Dalam jangka panjang, keempat wawasan PAI diatas
diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam mengurangi problematika
ekonomi, moral, sosial, dan politik bangsa Indonesia.[27]
Dalam pelaksanaannya, diakui PAI mengalami
banyak tantangan diantaranya; minimnya jam pelajaran yang diberikan. Dalam
waktu yang singkat itu, guru harus menyampaikan materi yang cukup padt terhadap
peserta didik.[28]
Maka diperlukan suatu pendekatan yang efektif agar materi PAI dapat disampaikan
secara bermakna, sehingga dapat mengoptimalkan sedikitnya jam mata pelajaran di
sekolah. dalam hal ini, ada beberapa pendekatan yang digunakan baik itu pada
tingkat sekolah dasar maupun menengah, yakni.[29]
a) Pendekatan
keimanan, yaitu memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan
pemahaman adanya tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk di ala mini.
b) Pendekatan
pengalaman, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengalaman ibadah dan akhak dalam
menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam kehidupan.
c) Pendekatan
pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan kepaa peserta didik untuk membiasakan
sikap dan perilaku yang sesuai dengan ajaran islam dan budaya bangsa dalam
menghadapi masalah kehidupan.
d) Pendekatan
rasional yaitu memberikan peran pada akal peserta didik dalam memahami dan
membedakan berbagai bahan ajar dalam standar materi serta kaitannya dengan
perilaku yang baik dan buruk dalam kehidupan.
e) Pendekatan
emosional yaitu upaya menggugah perasaan peserta didik dalam menghayati
perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
f) Pendekatan
fungsional yaitu menyajikan bentuk semua standar materi (Al-Qur’an, keimanan,
akhlak, fiqih, dan tarikh) dari segi manfaatnya bagi peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari dalam arti yang luas.
g) Pendekatan
keteladaan yaitu menjadikan figure guru agama dan nonagama serta semua pihak
sekolah sebagai cermin manusia yang berkepribadian.
Dalam pelaksanaan dilapangan, materi PAI jangan
hanya disampaikan terkait dengan aspek-aspek kognitif dan psikomotorik saja,
tetapi juga dari aspek efektif. Padahal hal yang cukup penting terkait dengan
pembinaan sikap dan cita rasa beragama terkait dengan aspek efektif. Seharusnya
aspek ini mampu buit in pada diri peserta didik. Sehingga sebagai solusi
yakni melalui keteladanan atau peragaan hidup secara riil serta penciptaan
suasana yang religius di sekolah umum.
Daftar Pustaka
Majid , Abdul & Dian Andayani, 2005, Pendidikan Agama Islam
Berbasis Kompetensi, Bandung : Rosda
Karya,
Hamami , Tasman. 2006. Pemikiran
Pendidikan Islam, dalam ringkasan Desertasi Program Pasca Sarjana
UIN Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan, dalam www.Kemenag.go.id, diakses 2011
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan
Nasional, Bandung : Citra Umbara
Arifin
M, 1991 Pendidikan Islam Dalam Arus
Dinamika Masyarakat, Jakarta :
Golden Pers,
Hajar,
Ibnu , 1994 Pendekatan Keberagamaan Dalam Pemilihan Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam, dalam
H.M. Chabibi Toha, dkk (ed) Metode Pengajaran Agama, Semarang : Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,
Majid,
Abdul & Dian Andayani, 2005 Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
Bandung : Rosda Karya,
Assegaf, Abdurrahman, 2005 Politik
Pendidikan Nasional , Yogyakarta : Kurnia Kalam,
Suyanto & Djihan Hisyam,,
2000 Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium
III, Yogyakarta : Adicia
[1]
Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung : Rosda Karya,2005),
hlm 165
[2]
Tasman Hamami, Pemikiran Pendidikan Islam, dalam ringkasan Desertasi Program
Pasca Sarjana UIN Yogyakarta,2006. Hlm 1
[3]
Peraturan Pemerintsah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan, dalam www.Kemenag.go.id, diakses 2011
[4] UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisitem Pendidikan Nasional, ( Bandung : Citra Umbara, 2003), hlm 3
[5] H.M. Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus
Dinamika Masyarakat, ( Jakarta : Golden Pers, 1991 ) hlm.7
[6]
Ibnu Hajar, Pendekatan Keberagamaan Dalam Pemilihan Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam, dalam
H.M. Chabibi Toha, dkk (ed) Metode Pengajaran Agama, ( Semarang :
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1994), hlm. 14-15-
7 Ibid,
hlm 16
[19]
Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam…,hlm 43-44.
[20] Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam…,hlm 67.
[21] Ibid , hlm 67
[22] Ibid, hlm 313
[23] Tasman Hamami, Pemikiran Pendidikan Islam,,. hlm 1.
[24] Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam…,hlm 313
[25] Suyanto & Djihan Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan
di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta : Adicia, 2000), hlm 60
[26] Abdurahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta
: Kurnia Kalam, 2005), hlm 126
[27] Lihat Abdurahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional…, hlm
245.
[28] Lihat Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam,
(Surabaya : Pustaka Pelajar, 2004), hlm 295.
[29] Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam
Berbasisi Kompetensi…, hlm 170-171
artikel yang menarik...jangan lupa ya singgah di blog sya..duniapendidikan33.blogspot.com
BalasHapusMakasih Soal pai
BalasHapus